Social Icons

Facebooktwitter

Pages

Selasa, 25 September 2012

Makalah Akhlaq Tasawuf




AKHLAQ  TASAWUF
”Wawasan tentang Al-Fana, Al-Baqa’, dan Al-Ittihad”



 




NAMA KELOMPOK :
1
Shofia Fajrin Hardiyanti
210611068
2
Luluk Ida Wati
210611069
3
Nuning Farida
210611070

STAIN PONOROGO 2011



Dosen Pengampu


Imam Sayuti Farid









Pengertian Al-Fana
            Fana artinya hilang, hancur. Dalam bahasa Inggris disappear, perish, annihilate. Dapat dipahami bahwa fana merupakan proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.
            Fana’an Nafs adalah hilangnya kesadaran kemanusiaan dan menyatu ke dalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan Dzat Allah. Fana berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.
            Fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dnegan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan, dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela.
            Mustafa Zahri mengatakan bahwa fana adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu.
            Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dan sifat ketuhanan.
            Al-Fana secara umum dari penjelasan Al-Junaidi adalah hilangnya daya kesadaranqalbu hal-hal yang bersifat inderawi karena adanaya sesuatu yang dilihatnya. Yang hilang hanyah kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan alam sekitarnya.
            Proses dalam al-fana ada empat :
a.       Sakar, situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada sau titik, sehingga dia melihat dengan perasaannya.
b.      Sathotat adalah gerakan, dalam tasawuf suatu ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakar.
c.       Al-Zawal Al-Hijab, bebas dalam dimensi sehingga ia keluar di dalam materi dan telah berada di dalam arwah ilahiyat sehingga getar jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan.
d.      Ghalab al syuhud tingkat kesempurnaan ia lupa pada dirinya dan alam hanya Allah saja.
Dari sudut psikologi karakteristik fana mistis yaitu hilangnya kesadaran dan perasaan, tidak merasakan apa yang terjadi dalam organismenya dan keakuannya dalam bahasa awan terkesima atau yang sejenis. Maka fana sebenarnya adalah suatu keadaan insidental, tak berlangsung secara terus menerus. Kemampuan adalah karunia Allah tak dapat diperoleh melalui latihan bagaimanapun.
Aliran fana ada dua :
1.      Berpaham moderat disebut fana fi’tauhid adalah seorang telah larut dalam ma’rifatullah dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Allah, maka ia fana dalam tauhid.
2.      Dipelopori oleh Abu Yazid Al-Busthami sebagai penyatuan dirinya dengan Tuhan.
Dengan demikian tujuannya untuk mencapai penyatuan (ittihad) dengan Tuhan. Dari pengertian metafisika yaitu hilangnya bentuk-bentuk adalah fananya bentuk itu pada saat Tuhan memanifestasi (tajalli) dirinya dalam bentuk lain.
Sufisme yang sempunra adalah seseorang yang melihat Tuhan dan dirinya sendiri di dalam pengalaman mistikal baik dengan pengetahuan mistikal maupun penghayatan esoteris. Artinya bahwa dia mengakui adanya esendi dan bentuk (form) tetapi menyadari kesatuan esensial keduanya serta kemutlakan non eksistensi dari form ini adalah fana yang paling tinggi.
Ibnu Arabi berpendapat ada tujuh tahap dalam proses gradual :
a.       Fana’an ma’ashi, meninggalkan dosa.
b.      Menjauhkan diri dari semua perbuatan apapun, hanya Tuhan satu-satunya.
c.       Menjauhkan diri dari sifat-sifat dan kualitas-kualitas dari wujud-wujud kontingen (mumkinul wujud).Sufi sejati adalah mereka yang dapat melihat Tuhan dari Tuhan di dalam Tuhan dan dari mata Tuhan sendiri.
d.      Menyingkir dari personaltas dirinya sendiri.
e.       Meninggalkan seluruh alam.
f.       Menghilangkan segala hal selain Tuhan
g.      Melepaskan semua atribut-atribut atau sifat-sifat Tuhan serta hubungan-hubungan atribut itu.
Tujuan akhir tasawuf Ibnu Arabi adalah pencapaian pengetahuan sejati dan kebahagiaan puncaknya sebagai sufi adalah penyadaran melalui intuisi mistik.

Pengertian Baqa’
            Bahwa proses penghancuran diri (fana) rupanya tidak dapat dipisahkan dari Baqa’ (tetap, terus hidup)
Ada beberapa faham kesufian adanya keseringan fana dan baqa’ :
1.      مَنْ فَنِيَ عَنْ جهْلِهِ بَقِيَ بِعِلْمِهِ, jika kejahatan (ignorance) dari seseorang hilang  yang akan tinggal adalah pengetahuan.
2.      مَنْ فَنِيَ عَنِيَ المَخَا لَفَتِ بَقِيَ فِ المَوَا فَقَا تِ, jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya maka yang akantinggal ialah taqwanya.
3.       مَنْ فَنِيَ عَنِ الاَوْصَا فِ المَذْمَوْمَةِ بَقِيَ بِالاَوْصَافِ المَخْمُوْدَةِ, siapa yang menghancurkan sifat (akhlaq) yang buruk, maka tinggallah baginya sifat-sifat yang baik.
4.      مَنْ فَنِيَ عَنْ اَوْصَا فِهِ بَقِيَ بِاَوْصَا فِ الحَقِّ, siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya maka mempunyai sifat Tuhan.
5.      Al-Qasyairi, pendapatnya fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinnya.
6.      Nicholson,  fana adalah kalau wujud jasmaninya tak ada lagi, maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninyadan  dapat bersatu dengan Tuhan.
Tokoh sufi pertama memunculkan fana dan baqa’ Abu Yazid Al Bustamillah. Beliau salah salah satu tokoh sufi yang telah melewati ma’rifah, mencapai fana dan baqa’ kamudian ittihad bersatu dengan Tuhan.
Hendaklah diketahui bahwa yang mewarnai seesorang adalah perbuatan akhlak dan tingkah laku. Barangsiapa yang menumbuhkan akhlak mulia kemudian meninggalkan dari kekotoran jiwa, dia dapat dikatakan fana (menghilangkan) budi pekerti yang buruk, maka tetap (baqa’)lah dalam kebaikan dan kebenaran.
Barangsiapa dikuasai kebenaran, hingga tidak ada perubahan dalam pendirian baik itu sendiri ataupun tulisan dan nilai-nilainya, maka dia fana (lenyap) dari tuntutan manusia dan baqa’ (tettaplah) kebenaran.
Apabila seseorang telah fana kesenangannya maka baqa’lah kezuhudannya dan barangsiapa fana angan-angannya maka baqa’lah kehendaknya, sebuah syair fana :
فَقَوْمُ تَا هٍ فِى اَرْضِ بِفَقْرٍ # وَقَوْمُ تَا هٍ فِى مَيْدَانِ حَبِّهِ.
فَاَفَنَوْا ثْمَّ اَفْنَوْا ثْمَّ اَبْقَوْا     # وَاَبْقَوْابِالبَقَا ءِ مِنْ قُى بِ رَبِّهِ.
Sebagian orang bingung di bumi ini karena kefakiran, sebagian orang bingung karena cintanya, kemudian lenyap-lenyap, tinggallah dia di dekat Tuhannya.
            Mula pertama dia fana dari diri dan sifatnya, karena baqa’ sifat Tuhan. Kemudian memfanakan sifat Tuhan dengan meleburkan diri kepada wujud Tuhan.
            Orang baqa’ kepada Tuhan berarti menyirnakan dirinya. Ia bekerja bukan untuk mendapatkan manfaat bagi dirinya dan bukan untuk untuk menolak mudarat yang menimpanya.
            Salah satu fana pengagungan selain Allah adlah hadits Abi Hasyim : “Apakah dunia itu ? Adapun yang sudah adalah merupakan impian, sisanya adalah kemauan dan tipuan.”
            Penjelasan dari Ibnu Qayyim : Fana dalam tauhid berbarengan dengan baqa’ yaitu penetapan terhadap Tuhan yang haq dalam hatimu Dan menghilangkan Tuhan selain Allah. Disinilah bertemu antara nafi’ dan istibat. Nafi’ adalah fana’ dan istibat adalah baqa’ .
            Sebagai akibat dari fana adalah baqa’. Menurut para sufi baqa’ adalah kekalnya sifat terpuji, dan sifat Tuhan dalam diri manusia. Dalam istilah tasawuf fana dan baqa’ beriringan.
اِذَا َشْرَقَ نَوْرُالبَقَا ءِ فَيَفْنَى مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَر مَنْ لَمْ يَزُلُ.   
Apabila tempat nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada dan baqalah yang kekal.
            Tasawuf adalah mereka fana dari dirinya dan baqa’ dengan Tuhannya. Karena kehadiran hati mereka bersama Allah. Jadi fana adalah lenyaplah sifat-sifat basyariyah, akhlak tercela, kebodohan, dan maksiat dari diri manusia. Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan untuk mencapai baqa’ ini diperlukan usaha bertaubat, bebrdzikir, beribadah, menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
            Yang dituju fana dan baqa’ adalah mencapai persatuan rohani dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Fana dan baqa’ erat hubungannya dengan ittihad. Seorang sufi telah merasa dirinya menyatu dengan Tuhan dan memanggil yang satu dengan
“Hai Aku”                                                                          فَيَقُوْلُ الوَاحِد لِلاٰخَرِيَا اَنَا
Maka yang satu dengan yang lainnya mengatakan “aku”.
            Au Yazid Al-Bustami (wafat 874 M) sufi pertama. Nama kecilnya Thaifur. Beliau telah fana dan mencapai baqa’ dari mulutnya keluarlah kata ganjil,
Tidak ada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku                       لإِلٰهَ اِلاَّ اَنَا فَاعْبُدْ نِى
Maha suci aku, maha suci aku, maha besar aku, سُبْحَا نِى, سُبْحَا نِّى, مَا اَعْظَا مُ شَا ءْنِى
Kata itu bukanlah darinya tapi dari Allah, beliau tidak mengakuinya sebagai Tuhan. Bagi orang yang bertoleran dipandang sebagai penyelewengan, bagi yang keras pada agama, dipandang sebagai kekufuran. Untuk mencapai ittihad dipandang sufi sebagai liqa al rabbi.

Kondisi Fana dan Baqa’ dengan Ma’rifah
            Fana artinya lenyap dan baqa’ artinya tetap. Fana dan baqa’ selalu menyattu dalam kondisi kerohanian tertentu. Fana merupakan permulaannya sedangkan baqa’ merupakan akhir perjalanannya, tetapi  keduanya tidak pernah diselingi oleh kondisi kerohanian yang lain, kecuali selalu sambung menyambung. Oleh karena itu sufi mengibaratkan fana dan baqa’ sebagai satu mata uang logam yaitu disisi yang satu adalah fana, sedangkan disisi yang lain adalah baqa’.
            Sufi dari lairan tasawuf mengartikan fana sebagai berikut; pertama, fana kebodohan, (ketidak tahuan), lalu timbul baqa’ sikap – tahuan. Kedua, fana, maksiat, lalu timbul baqa’ ketaaatan. Ketiaga, fana, kelalaian, lalu timbul baqa’ ingat kepada Allah. Keempat, fana sifat- sifat buruk, lalu timbul baqa’ sifat-sifat baik. Tetapi dari aliran Tasawuf Irfani mengartikan fana sebagai kondisi lenyapnya kesadaran hamba, lalu timbul baqa’ sebagai keabadian kekuasaan Allah yang tetap[17].
            Pengalaman sufi untuk sampau kondisi fana dan baqa’, dimulai dari dzikir dan tafakur untuk meniadakan diri (fana). Tetapi sebelum datangnya  fana, lebih dahulu diawali oleh ketidak-sadaran diri (al-sukru), yang sering juga disebut dengan al jazb, karena sufi yang mengalami kondisi kerohanian tersebut, sering berperilaku aneh-aneh. Lalu muncul fana, kemudian bersamung dengan baqa’, lalu sadar kembali, yang disebut al-sahwu, kemudian fana kembali, inilah yang disebut kondiis peniadaan yang tidak tiada, fanau al fana, lalu muncul lagi ketetapan yang sudah tetap, baqau al baqa’. Ini merupakan kondisi kerohanian yang sangat mendatangkan ma’rifah. Jadi ma’rifah belum bisa didapatkan sufi keika belum satu kali fana dan baqa’. Bahkan ada sufi yang mencapai tiga kali fana dan baqa’. Baru dapat mencapai ma’rifah yang diharapkan yang disebut tajalli.
            Ma’rifah yang diperoleh dari fana dan baqa’ sebagaimana tersebut di atas, meliputi beberapa tingkatan :
1.      Ma’rifah dengan ciptaan Allah (اَلمَعْرِفَةُ اَفْعَا لِلهِ ) didapat dari
 فَنَاءُ الفَنَاءِ فِى اَفْعَا لِلهِ
2.      Ma’rifah dengan nam Allah (اَلمَعْرِفَةُ فِى اَسْمَا ءِا للهِ) didapat dari
 فَنَاءُ الفَنَاءِ فِى اَسْمَاءِاللهِ
3.      Ma’rifat dengan sifat Allah (اَلمَعْرِفَةِ فِى صِفَا تِاللهِ) didapat dari
 فَنَاءُ الفَنَاءِ فِى صِفَا تِ اللهِ
4.      Ma’rifah dengan dzat Allah (اَلمَعْرِفَةِ فِى ذَا تِ اللهِ) didapat dari
 فَنَاءُ الفَنَاءَ فِى ذَا تِ اللهِ
Tentu saja ma’rifat dari tingkatan pertama sampai tingkatan keempat selalu diawali juga oleh :
بَقَاءُالبَفَاءِ فِى اَسْمَاءِاللهِ, بَقَاءُالبَفَاءِ فِى اَفَعَاءِاللهِ
قَاءُالبَفَاءِ فِى ذَا تِ الله , َبَقَاءُالبَفَاءِ فِى صِفَا تِ اللهِ
Pengertian Ittihad
            Ittihad adalah bahwa tingkatan tasawus seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan.
            A.R. Ai Badawi berpendapat dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud. Dalam ini identitas telah hilang, telah menjadi satu. Ittihad berada dalam lapangan yang kurang terang dan bersama hulul dan tauhid daripada bagian ilmu tasawuf.
            Abu Yazid Al-Bustami sebagai penyebar dan membawa ittihad dalam tasawuf. Ia jarang keluar di Bistam. Sebagian besar waktunya ia gunakan untuk beribadah dan memuja Tuhan.
            Pabila seorang sufin telah berada dalam keadaan fana, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan sehingga wujudnya kekal (baqa’). Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah arti dari Ittihad.
            Paham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapatnya, bahwa jiwa manusiaadalah pancaran dari nur ilahi, akuannya manusia itu adalah pancaran dari Yang Maha Esa.
            Ittihad adalah barangsiapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriyahnya dari kesadarannya sebagai insan, maka akan memperoleh jalan kepada sumber arahnya. Ia akan menyatu padu dengan yang tunggal, yang dilihat dan dirasakan hanya stu, itulah ittihad.
            Situasi Ittihad diperjelas oleh Bayazid dalam ungkapannya :
قل يا ابا يزيد انهم كلهم خلقى غيرك . فقلت فاءنا أنت وأنت أنت أنا
Tuhan berkata,”Semua mereka kecuali engkau, adalah makhluk-Ku, akupun berkata,”Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku. Selanjutnya.”
انى اناالله لا اله الا انا فاعبدنى
Saya inilah Allah, tiada Tuhan Aku, sembahlah Aku.
            Kata-kata itu adalah sab da Tuhan yang disalurkan melalui lidah Bayazid yang dalam keadaan fana’an nafs. Oleh karena itu sebenarnya dia tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti yang dilakukan Fir’aun.


DAFTAR PUSTAKA

Siregar, Prof.H.A. Rivay, Tasawuf

Nata, Prof.Dr.H.Abudin, M.A., Akhlaq Tasawuf

Drs.H.A. Mustafa, Akhlak Tasawuf

Drs.Mahjudin, M.Pd.I, Akhlak Tasawuf I Mukjizat Nabi, Karomah Wali, dan Ma’rifah Sufi, Kalam Mulia



[17] Adnan Haqq, Al-Sufiyyah wa Al-Tasawuf, Maktabah Al-Farabi, Damascus.tt, hal.85

Makalah Studi Hadis Surah An-Nisa ayat 3



STUDI AL – QUR’AN
“AL-QUR’AN SURAT AN – NISA’ AYAT 3”




 





NAMA KELOMPOK :
1
Shofia Fajrin Hardiyanti
210611068
2
Luluk Ida Wati
210611069
3
Nuning Farida
210611070

STAIN PONOROGO 2011


Dosen Pengampu


Umar Sidiq, M.Ag
NIP. 197606172008011012
















Surat An-Nisa’ Ayat 3 [1]
 وَاِنْ خِتُمْ اَلاّ تُقْسِطًوْا فِى الْيٰتٰمٰى فَنْكِحُوْا مَا طَا بَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ   اَلاَّ تَعْدِ لُوْا فَوَا حِدَةً اَوْمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ  ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓىٓ اَلاَّ تَعْلُوْا

Mufrodat


Dari perempuan-perempuan (selain mereka)
مِّنَ النِّسَآءِ
Dan jika
وَاِنْ
Dua orang
مَثْنٰى
Kalian takut/khawatir
خِتُمْ
Dan tiga orang
وَثُلٰثَ
Bahwa tidak(dapat)
اَلاَّ
Dan empat orang
وَرُبٰعَ
Kalian berlaku adil
تُقْسِطًوْا
Kalian berlaku adil
تَعْدِ لُوْا
Atau
اَو
Maka (nikahilah) satu orang saja
فَوَا حِدَةً
(menikahi) wanita-wanita yatim
الْيٰتٰمٰى
Hamba sahaya yang kalian miliki
مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ   مَا
Maka kalian nikahilah
فَنْكِحُوْا
Lebih dekat
اَدْنٰٓىٓ
Apa (siapa) yang
مَا
Agar tidak
اَلاَّ
Baik/halal/disukai
طَا بَ
Kalian berlaku zalim (tidak adil)
تَعْلُوْا
Bagi laki-laki
لَكُمْ

Artinya :
3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[2], Maka (kawinilah) seorang saja[3], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Asbabun Nuzul
Aisyah r.a menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang suatu ketika menguasai anak yatim, kemudian dinikahinya. Ia mengadakan perserikatan harta untuk berdagang dengan wanita yatim yang menjadi tanggungannya itu. Karena itu, di dalam pernikahan ia  tidak memberi apa-apa dan menguasai seluruh harta perserikatan itu, hingga wanita itu tidak mempunyai kuasa apapun.(H.R.Bukhari)[4]
عَنْ عَائِشَةَ رَظِيَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ رَجُلاً كَا نَتْ لَهُ يَتِمَةُ فَنَكَحَهَا, وَكَا نَ لَهَا عَدْ قٌ وَكَا نَ يُمْسِكُهَا عَلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهَا مِنْ نَفْسِهِ سَى ءٌ فَنَزَ لَتْ فِيْهِ (وَاِنْ خِتُمْ اَنْ لاَ تُقْسِطُوْا فِى اليَتا مَى )
أخْسِبُهُ قَا لَ , كَا نَتْ شَرِيْكَتُهُ ذَلِكَ العَذْ قِ وَ فِى مَا لِهِ .[5]
Artinya :
            Dari Aisyah R.A “Sesungguhnya seorang laki-laki memiliki seorang perempuan yatim, lalu dia menikahinya, dan perempuan itu memiliki adzq (pohon kurma). Dia sengaja menahannya karena harta itu, sementara dia tidak memiliki perasaan apapun terhadap perempuan  tersebut. Maka turunlah, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya)”. Aku kira beliau berkata, “Dia adalah sekutunya pada kurma dan pada hartanya.”






Ayat Al-Qur’an lain sebagai pendukung

Terhadap hamba sahaya tidak diwajibkan berlaku adil. Mereka hanya berhak mendapatkan nafkah hidup sehari-hari.[6]
وَاِنْ خِتُمْ اَلاّ تُقْسِطًوْا فِى الْيٰتٰمٰى فَنْكِحُوْا مَا طَا بَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ[7]
Dan apabila kamu merasa takut terhadap dirimu sendiri karena khawatir memakan harta istri yang yatim, janganlah kamu kawin dengannya. Karena sesungguhnya Allah telah keleluasaan  terhadap kamu untuk tidak menikahi anak yatim, yaitu dengan menghalalkan kamu boleh nikah dengan wanita-wanita selain yatim, satu, dua, tiga, atau empat
            Orang-orang Arab mengatakan di dalam pembicaraan mereka Iqtasimu alfa dirhamain; Hadza dirhamain dirhamain; Wa tsalatsah tsalatsah; Wa arba’ah arba’ah ; dengan arti bahwa setiap orang di antara mereka masing-masing mengambil dua dirham saja, atau tiga dirham, atau empat dirham, dari yang seribu dirham itu. Seandainya engkau menjadikannya dalam bentuk tunggal, misalnya engkau katakana : Iqtasimuhu dirhamaiwa Tsalatsah wa arba’ah (Bagaikan seribu dirham ini dua dirham dan tiga dirham dan empat dirham), maka perkataan seperti itu, menurut bahasa Arab, tidak diperbolehkan.
فَاِنْ   اَلاَّ تَعْدِ لُوْا فَوَا حِدَةً[8]
Tetapi jika kamu merasa tidak akan bisa berbuat adil di antara dua orang istri atau istri-istrimu, maka kamu harus memegang satu istri saja. Perasaan takut tidak bisa berbuat adil bisa dirasakan dengan zhan (kepastian) dan (juga) bisa dengan syak (ragu-ragu). Laki-laki yang diperbolehkan lebih dari satu hanyalah orang yang merasa yakin dirinya bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya nanti. Keyakinan dalam hal itu tidak boleh dicampuri dengan perasaan ragu-ragu.
اَوْمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ [9]
Hendaknya kalian mencukupkan seorang istri dari wanita-wanita merdeka, dan bersenang-senanglah dengan wanita yang kamu sukai dari hamba-hamba wanita, karena tidak ada kewajiban berbuat adil di antara mereka. Tetapi, mereka hanya mendapat berhak kecukupan nafkah, sesuai dengan standar yang berlaku dikalangan mereka.
ذٰلِكَ اَدْنٰٓىٓ اَلاَّ تَعْلُوْا
Memilih seorang istri atau mengambil gundik lebih baik menghindari zalim dan aniaya. Kesimpulannya, bahwa menjauhi perbuatan zalim
            Kesimpulannya bahwa menjauhi perbuatab zalim adalah dasar disyariatkannya hukum perkawinan. Dalam hal ini terkandung pengertian yang menunjukkan persyaratan adil dan wajib melaksankannya, dan berbuat adil memang sulit diwujudkan sebagaimana diungkapkan oleh firman-Nya :
وَلَنْ تَسْتَطِعُوْا اَنْ تَعْدِلُوْ بَيْنَ النِّس. (النساء : ١٢٩)
Artinya :
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu,walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. (Q.S.An-Nisa’ : 129)

Kandungan Ayat
[10]Pernikahan adalah akad  yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan  perempuan yang bukan mahram
            Nikah adalah salah satu azas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang setengah-setengah dalam hidup damn kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan dan hawa nafsunya.
[11]Allah membolehkan bersistri lebih dari satu (polygamy, tapi dibatasi sebanyak-banyakna empat orang, dengan ketentuan mampu berlaku adil antara semua istri itu, baik dalam hal makan, minum, perumahan, giliran dan sebagainya. Tidak boleh diadakan perbedaan antara istri yang kaya dan yang miskin, antara yang bangsawan dan yang bujkan bangsawan. Seorang lelaki yang jelas tidak mampu menjamin diri dan hatinya untuk berlaku adil, dan tidak mampu menetapi hak-hak para istrinya jika ia berpoligamy, maka ia tetap diharamkan berpoligamy. Andaikata ia mampu berlaku adil untuk tiga orang istri, sdangkan untuk yang ke-empat tidak, maka haram ia menikahi wanita yang ke-empat. Begitu juga bila ia hanya mampu berlaku adil dua orang istri, sedangkan untuk yang ke-tiga tidak, maka haram ia menikahi istri yang ke-tiga. Selanjutnya bila ia hanya mampu berlaku adil untuk seorang istri, sedangkan untuk yang kedua tidak, maka haram pula ia menikahi istri yang ke-dua, Ia hanya boleh beristri seorang saya (monogamy).
Yang dimaksud dengan “adil” di sini, adalah sikap menyamakan dalam batas lahiriyah, misalnya persamaan dalam hal perumahan, pakaian, dan sebagainya. Adapun hal-hal di luar kemampuan seseorang, misalnya cenderung hati seorang suami, untuk mencintai istrinya yang muda dan cantik melebihi dari yang lain, makadalam hal ini suami tidak dibebani supaya membagi cintanya sama rata dengan semua istrinya, asal istri yang lain itu tidak diabakan begitu saja. Rasulullah sendiri di akhir hidup lebih bnayak lebih bnayak cenderung kepada ‘Aisyah dengan kerelaan hati dari istri beliau yang lain. Untuk ini beliau berdo’a : “ Ya Tuhan, kecenderungan dalam hatiku ini dalah naluri yang aku miliki. Dan janganlah aku disiksa terhadap hal-halyang diluar ketentuan naluri yang kumiliki.” Kiranya naluri cinta yang bersarang di dalam hati, tidak dapat disamakan dengan benda yang dapat dibagi sama rata.

Berbagai Keistimewaan Poligami Ketika Diperlukan [12]
            Pada prinsipnya kebahagiaan rumah tangga bagi seorang suami hanya apabila mempunyai seorang istri saja karena bentuk rumah tangga seperti itu adalah yang paling sempurna, yang seharusnya dipelihara setiap individu dan diyakini. Tetapi terkadang memang ada beberapa kondisi yang dialami seseorang yang mendorongnya menyimpang dari ketentuan tersebut, karena ada kemaslahatan penting yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangganya atau umatnya. Sehingga poligamy bagi dirinya tidak bisa dielakkan lagi. Kondisi-kondisi tersebut ialah sebagai berikut :
  1. Bila seorang suami beristrikan seorang wanita mandul, sedangkan ia sangat mengharapkan anak. Termasuk kemaslahatan sang istri dan kemaslahatan mereka (suami istri), hendaknya sang suami menetapkan istri pertamanya, kemudian mengawini wanita lain. Terlebih jika status sang suami sebagai orang terpandang dan memiliki kekayaan, misalnya, seorang raja atau amir.
  2. Bila istri telah tua dan mencapai umur yaisah  (tidak haid lagi) kemudian sang suami berkeinginan mempunyai anak dan ia mampu memeberikan nafkah kepada lebih dari seorang istri, mampu pula menjamin kebutuhan anak-anaknya termasuk pendidikan mereka.
  3. Bila sang suami merasa tidak cukup hanya mempunyai seorang istri, demi terpeliharanya kehormatan diri (agar tidak berzina) karena kapabilitas seksualnya memang mendorongnya untuk poligamy, sedang sang istri kebalikannya. Atau bisa juga karena masa haid sang istri, umpamanya, terlalu panjang, hingga memakan waktu sebagian besar dari bulannya, sehingga kini, posisi suami dihadapkan pada dua alternatif. Terkadang, ia harus kawin lagi atau terjerumus ke dalam perbuatan zina, yang akibatnya menyia-nyiakan agama, harta benda, dan kesehatannya. Akibatnya, lebih berbahaya bagi sang istri dibandingkan jika sang suami memadunya dengan istri lain yang disertai keadilan sang suami terhadap semuanya, sebagaimana yang menjadi syarat dibolehkannya poligamy dalam Islam.
  4. Bila diketahui dari hasil sen sus kaum wanita lebih banyak dari kaum pria, dalam suatu negara dengan perbandi gan yang mencolok. Hal itu bisa terjadi setelah suatu negara baru saja mengalami peperangan yang banyak menewaskan kaum pria. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada sarana lain bagi wanita dalam mencari kasab, kecuali hanya dengan menjual diri (kehormatannya. Akibatnya, jelas akan membuat wanita itu hidup sengsara karena ia harus menjamin nafkah diri dan anak-anaknya yang telah kehilangan seorang ayah sebagai penanggung kebutuhan meraka terlebih lagi jika hal itu terjadi setelah melairkan dalam masa penyusuan, sungguh mengharukan.


Hikmah Poligami yang Dilakukan Nabi Muhammad SAW. [13]

             Nabi Muhammad SAW. selalu memelihara kemaslahatan dalam memilih setiap wanita yang akan dijadikan istrinya. Untuk itu, beliau menarik kabilah-kabilah terbesar untuk bersimenda dengannya. Kemudian beliau mengajari para pengikutnya, seperti, bagaimana cara menghormati kaum wanita dan memuliakan istri-istrinya, serta berlaku adil terhadap mereka.
            Ketika Nabi SAW. wafat beliau meningglkan sembilan istrinya sebgai Ummahatu ‘i mukmini (Ibu-ibu kaum mukmin). Mereka, bertugas mengajari istri-istri kaum mukmin tentang hukum-hukum yang khusus untuk kaum wanita yang harus mereka ketahui, langsung dari kaum wanita sendiri, bukan dari kaum pria. Dan seandainya Nabi SAW. hanya meninggalkan seorang istri pastilah manfaatnya tidak akan seperti beliau meningglakan sembilan istri (mengingat funsi mereka yang sangat penting).
Singkatnya, dalam berpoligamy Nabi SAW tidak bermaksud seperti yang dikehendaki oleh seorang raja, amir, dan hartawan yang hanya ingin bersenang- senang dengan wanita. Sebab, kalau saja beliau bermaksud demikian, niscaya beliau akan memilih wanita- wanita tercantik da perawan, seperti yang pernah beliau sarankan kepada salah seorang sahabat yang mengawini seorang janda.
هَلاَ بِكْرًا تَلاَ عِبُهَا وَ تُلاَعِبُكَ وَ تَظَحِكُهَا وَتُظَا حِكُهَا.
Artinya :
Mengapa bukan (yang masih) perawan, (hingga) engkau bisa bermain-main dengannya, dan ia pun bisa bermain-main denganmu, kemudian engkau bisa bersenang- senang dengannya, dan ia pun bisa bersenang-senang denganmu.
(H.R. Bkhari dan Muslim)








DAFTAR PUSTAKA

Surin, Bactiar, Adz-Dzikraa terjemah & tafsir Al-Qur’an dalam huruf Arab & Latin juz 1-5 : Angkasa Bandung.

Hatta, DR.Ahmad, MA_”Tafsir Qur’an perkata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul&Terjemah : Maghfirah Pustaka.

Rasjid, H.Sulaiman, Fiqih Islam : Sinar Bari Algesindo.

Hajar Al Agalani, Ibnu, Fathul Baari Shahih Al-Bukhari jilid 22.

Terjemah Tafsir Al-Maraghi 4 : Toha Putra Semarang.



[1] Hatta, DR.Ahmad, MA_”Tafsir Qur’an perkata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul&Terjemah : Maghfirah Pustaka,77.

[2] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,  giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[3]  Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[4] Hatta, DR.Ahmad, MA_”Tafsir Qur’an perkata Dilengkapi dengan Asbabun  Nuzul&Terjemah : Maghfirah Pustaka,77.
[5] Hajar Al Agalani, Ibnu, Fathul Baari Shahih Al-Bukhari jilid 22, 302-303.

[6] Surin, Bactiar, Adz-Dzikraa terjemah & tafsir Al-Qur’an dalam huruf Arab & Latin juz 1-5 : Angkasa Bandung, 315.

[7] Terjemah Tafsir Al-Maraghi 4 : Toha Putra Semarang, 375.

[8] Terjemah Tafsir Al-Maraghi 4 : Toha Putra Semarang, 325-326.

[9] Terjemah Tafsir Al-Maraghi 4 : Toha Putra Semarang, 326.

[10] Rasjid, H.Sulaiman, Fiqih Islam : Sinar Bari Algesindo, 374.

[11] Surin, Bactiar, Adz-Dzikraa terjemah & tafsir Al-Qur’an dalam huruf Arab & Latin juz 1-5 : Angkasa Bandung, 312.

[12] Terjemah Tafsir Al-Maraghi 4 : Toha Putra Semarang, 328.

[13] Terjemah Tafsir Al-Maraghi 4 : Toha Putra Semarang, 331.