AKHLAQ TASAWUF
”Wawasan
tentang Al-Fana, Al-Baqa’, dan Al-Ittihad”
NAMA KELOMPOK :
1
|
Shofia Fajrin Hardiyanti
|
210611068
|
2
|
Luluk Ida Wati
|
210611069
|
3
|
Nuning Farida
|
210611070
|
STAIN
PONOROGO 2011
Dosen Pengampu
Imam Sayuti Farid
|
Pengertian Al-Fana
Fana
artinya hilang, hancur. Dalam bahasa Inggris disappear, perish,
annihilate. Dapat dipahami bahwa fana merupakan proses menghancurkan diri
bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.
Fana’an
Nafs adalah hilangnya kesadaran kemanusiaan dan menyatu ke dalam iradah
Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan Dzat Allah. Fana berbeda dengan
al-fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan rusak
adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.
Fana
menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri
atau dnegan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain fana
berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan, dapat
pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela.
Mustafa
Zahri mengatakan bahwa fana adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni
sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu.
Menurut
pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dan sifat
ketuhanan.
Al-Fana
secara umum dari penjelasan Al-Junaidi adalah hilangnya daya kesadaranqalbu
hal-hal yang bersifat inderawi karena adanaya sesuatu yang dilihatnya. Yang
hilang hanyah kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Sebenarnya dirinya tetap
ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan alam sekitarnya.
Proses
dalam al-fana ada empat :
a. Sakar, situasi kejiwaan yang terpusat penuh
kepada sau titik, sehingga dia melihat dengan perasaannya.
b. Sathotat adalah gerakan, dalam tasawuf suatu ucapan
yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakar.
c. Al-Zawal Al-Hijab, bebas dalam dimensi sehingga ia keluar
di dalam materi dan telah berada di dalam arwah ilahiyat sehingga getar jiwanya
dapat menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan.
d. Ghalab al syuhud tingkat kesempurnaan ia lupa pada dirinya
dan alam hanya Allah saja.
Dari sudut psikologi
karakteristik fana mistis yaitu hilangnya kesadaran dan perasaan, tidak
merasakan apa yang terjadi dalam organismenya dan keakuannya dalam bahasa awan
terkesima atau yang sejenis. Maka fana sebenarnya adalah suatu keadaan
insidental, tak berlangsung secara terus menerus. Kemampuan adalah karunia
Allah tak dapat diperoleh melalui latihan bagaimanapun.
Aliran fana ada dua :
1. Berpaham moderat
disebut fana fi’tauhid adalah seorang telah larut dalam ma’rifatullah
dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Allah, maka ia fana dalam tauhid.
2. Dipelopori oleh Abu
Yazid Al-Busthami sebagai penyatuan dirinya dengan Tuhan.
Dengan demikian tujuannya untuk
mencapai penyatuan (ittihad) dengan Tuhan. Dari pengertian metafisika yaitu
hilangnya bentuk-bentuk adalah fananya bentuk itu pada saat Tuhan memanifestasi
(tajalli) dirinya dalam bentuk lain.
Sufisme yang sempunra adalah
seseorang yang melihat Tuhan dan dirinya sendiri di dalam pengalaman mistikal
baik dengan pengetahuan mistikal maupun penghayatan esoteris. Artinya bahwa dia
mengakui adanya esendi dan bentuk (form) tetapi menyadari
kesatuan esensial keduanya serta kemutlakan non eksistensi dari form ini adalah
fana yang paling tinggi.
Ibnu Arabi berpendapat ada
tujuh tahap dalam proses gradual :
a.
Fana’an ma’ashi, meninggalkan dosa.
b. Menjauhkan diri dari
semua perbuatan apapun, hanya Tuhan satu-satunya.
c. Menjauhkan diri dari
sifat-sifat dan kualitas-kualitas dari wujud-wujud kontingen (mumkinul wujud).Sufi
sejati adalah mereka yang dapat melihat Tuhan dari Tuhan di dalam Tuhan dan
dari mata Tuhan sendiri.
d. Menyingkir dari
personaltas dirinya sendiri.
e. Meninggalkan seluruh
alam.
f. Menghilangkan segala
hal selain Tuhan
g. Melepaskan semua
atribut-atribut atau sifat-sifat Tuhan serta hubungan-hubungan atribut itu.
Tujuan akhir tasawuf Ibnu
Arabi adalah pencapaian pengetahuan sejati dan kebahagiaan puncaknya sebagai
sufi adalah penyadaran melalui intuisi mistik.
Pengertian Baqa’
Bahwa
proses penghancuran diri (fana) rupanya tidak dapat dipisahkan dari Baqa’
(tetap, terus hidup)
Ada beberapa faham kesufian adanya keseringan fana
dan baqa’ :
1.
مَنْ فَنِيَ عَنْ
جهْلِهِ بَقِيَ بِعِلْمِهِ,
jika kejahatan (ignorance)
dari seseorang hilang yang akan tinggal
adalah pengetahuan.
2. مَنْ فَنِيَ عَنِيَ المَخَا لَفَتِ بَقِيَ فِ المَوَا
فَقَا تِ, jika seseorang dapat menghilangkan
maksiatnya maka yang akantinggal ialah taqwanya.
3. مَنْ فَنِيَ عَنِ الاَوْصَا فِ المَذْمَوْمَةِ بَقِيَ بِالاَوْصَافِ
المَخْمُوْدَةِ, siapa yang menghancurkan sifat (akhlaq)
yang buruk, maka tinggallah baginya sifat-sifat yang baik.
4. مَنْ فَنِيَ عَنْ اَوْصَا فِهِ بَقِيَ بِاَوْصَا فِ
الحَقِّ, siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya
maka mempunyai sifat Tuhan.
5. Al-Qasyairi,
pendapatnya fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan
hilangnya kesadaran tentang dirinnya.
6. Nicholson, fana adalah kalau wujud jasmaninya tak ada
lagi, maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninyadan dapat bersatu dengan Tuhan.
Tokoh sufi pertama memunculkan
fana dan baqa’ Abu Yazid Al Bustamillah. Beliau salah salah satu tokoh sufi
yang telah melewati ma’rifah, mencapai fana dan baqa’ kamudian ittihad bersatu
dengan Tuhan.
Hendaklah diketahui bahwa yang
mewarnai seesorang adalah perbuatan akhlak dan tingkah laku. Barangsiapa yang
menumbuhkan akhlak mulia kemudian meninggalkan dari kekotoran jiwa, dia dapat
dikatakan fana (menghilangkan) budi pekerti yang buruk, maka tetap (baqa’)lah
dalam kebaikan dan kebenaran.
Barangsiapa dikuasai
kebenaran, hingga tidak ada perubahan dalam pendirian baik itu sendiri ataupun
tulisan dan nilai-nilainya, maka dia fana (lenyap) dari tuntutan manusia dan
baqa’ (tettaplah) kebenaran.
Apabila seseorang telah fana
kesenangannya maka baqa’lah kezuhudannya dan barangsiapa fana angan-angannya
maka baqa’lah kehendaknya, sebuah syair fana :
فَقَوْمُ تَا هٍ فِى اَرْضِ بِفَقْرٍ # وَقَوْمُ تَا هٍ فِى مَيْدَانِ
حَبِّهِ.
فَاَفَنَوْا ثْمَّ اَفْنَوْا ثْمَّ اَبْقَوْا # وَاَبْقَوْابِالبَقَا ءِ مِنْ قُى بِ
رَبِّهِ.
Sebagian orang bingung di bumi ini karena
kefakiran, sebagian orang bingung karena cintanya, kemudian lenyap-lenyap,
tinggallah dia di dekat Tuhannya.
Mula
pertama dia fana dari diri dan sifatnya, karena baqa’ sifat Tuhan. Kemudian
memfanakan sifat Tuhan dengan meleburkan diri kepada wujud Tuhan.
Orang
baqa’ kepada Tuhan berarti menyirnakan dirinya. Ia bekerja bukan untuk
mendapatkan manfaat bagi dirinya dan bukan untuk untuk menolak mudarat yang
menimpanya.
Salah
satu fana pengagungan selain Allah adlah hadits Abi Hasyim : “Apakah dunia itu
? Adapun yang sudah adalah merupakan impian, sisanya adalah kemauan dan
tipuan.”
Penjelasan
dari Ibnu Qayyim : Fana dalam tauhid berbarengan dengan baqa’ yaitu penetapan
terhadap Tuhan yang haq dalam hatimu Dan menghilangkan Tuhan selain Allah.
Disinilah bertemu antara nafi’ dan istibat. Nafi’ adalah fana’ dan istibat
adalah baqa’ .
Sebagai
akibat dari fana adalah baqa’. Menurut para sufi baqa’ adalah kekalnya sifat
terpuji, dan sifat Tuhan dalam diri manusia. Dalam istilah tasawuf fana dan
baqa’ beriringan.
اِذَا َشْرَقَ نَوْرُالبَقَا ءِ فَيَفْنَى مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَر مَنْ
لَمْ يَزُلُ.
Apabila tempat nur kebaqaan, maka fanalah
yang tiada dan baqalah yang kekal.
Tasawuf
adalah mereka fana dari dirinya dan baqa’ dengan Tuhannya. Karena kehadiran
hati mereka bersama Allah. Jadi fana adalah lenyaplah sifat-sifat basyariyah,
akhlak tercela, kebodohan, dan maksiat dari diri manusia. Baqa’ adalah kekalnya
sifat-sifat ketuhanan untuk mencapai baqa’ ini diperlukan usaha bertaubat,
bebrdzikir, beribadah, menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
Yang
dituju fana dan baqa’ adalah mencapai persatuan rohani dan batiniah dengan
Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Fana dan baqa’ erat
hubungannya dengan ittihad. Seorang sufi telah merasa dirinya menyatu dengan
Tuhan dan memanggil yang satu dengan
“Hai Aku” فَيَقُوْلُ الوَاحِد لِلاٰخَرِيَا اَنَا
Maka yang satu dengan yang lainnya mengatakan
“aku”.
Au
Yazid Al-Bustami (wafat 874 M) sufi pertama. Nama kecilnya Thaifur. Beliau
telah fana dan mencapai baqa’ dari mulutnya keluarlah kata ganjil,
Tidak ada Tuhan selain aku, maka sembahlah
aku لإِلٰهَ اِلاَّ
اَنَا فَاعْبُدْ نِى
Maha suci aku, maha suci aku, maha besar aku, سُبْحَا نِى, سُبْحَا نِّى, مَا اَعْظَا مُ شَا ءْنِى
Kata itu bukanlah darinya tapi dari Allah, beliau
tidak mengakuinya sebagai Tuhan. Bagi orang yang bertoleran dipandang sebagai
penyelewengan, bagi yang keras pada agama, dipandang sebagai kekufuran. Untuk
mencapai ittihad dipandang sufi sebagai liqa al rabbi.
Kondisi Fana dan Baqa’ dengan Ma’rifah
Fana
artinya lenyap dan baqa’ artinya tetap. Fana dan baqa’ selalu menyattu dalam
kondisi kerohanian tertentu. Fana merupakan permulaannya sedangkan baqa’
merupakan akhir perjalanannya, tetapi
keduanya tidak pernah diselingi oleh kondisi kerohanian yang lain,
kecuali selalu sambung menyambung. Oleh karena itu sufi mengibaratkan fana dan
baqa’ sebagai satu mata uang logam yaitu disisi yang satu adalah fana,
sedangkan disisi yang lain adalah baqa’.
Sufi
dari lairan tasawuf mengartikan fana sebagai berikut; pertama, fana kebodohan,
(ketidak tahuan), lalu timbul baqa’ sikap – tahuan. Kedua, fana, maksiat, lalu
timbul baqa’ ketaaatan. Ketiaga, fana, kelalaian, lalu timbul baqa’ ingat
kepada Allah. Keempat, fana sifat- sifat buruk, lalu timbul baqa’ sifat-sifat
baik. Tetapi dari aliran Tasawuf Irfani mengartikan fana sebagai kondisi
lenyapnya kesadaran hamba, lalu timbul baqa’ sebagai keabadian kekuasaan Allah
yang tetap[17].
Pengalaman
sufi untuk sampau kondisi fana dan baqa’, dimulai dari dzikir dan tafakur untuk
meniadakan diri (fana). Tetapi sebelum datangnya fana, lebih dahulu diawali oleh
ketidak-sadaran diri (al-sukru), yang sering juga disebut dengan al
jazb, karena sufi yang mengalami kondisi kerohanian tersebut, sering
berperilaku aneh-aneh. Lalu muncul fana, kemudian bersamung dengan baqa’, lalu
sadar kembali, yang disebut al-sahwu, kemudian fana kembali, inilah yang
disebut kondiis peniadaan yang tidak tiada, fanau al fana, lalu muncul
lagi ketetapan yang sudah tetap, baqau al baqa’. Ini merupakan kondisi
kerohanian yang sangat mendatangkan ma’rifah. Jadi ma’rifah belum bisa
didapatkan sufi keika belum satu kali fana dan baqa’. Bahkan ada sufi yang
mencapai tiga kali fana dan baqa’. Baru dapat mencapai ma’rifah yang diharapkan
yang disebut tajalli.
Ma’rifah
yang diperoleh dari fana dan baqa’ sebagaimana tersebut di atas, meliputi
beberapa tingkatan :
1. Ma’rifah dengan
ciptaan Allah (اَلمَعْرِفَةُ اَفْعَا لِلهِ ) didapat dari
فَنَاءُ الفَنَاءِ فِى اَفْعَا لِلهِ
2. Ma’rifah dengan nam
Allah (اَلمَعْرِفَةُ فِى اَسْمَا ءِا للهِ)
didapat dari
فَنَاءُ الفَنَاءِ فِى اَسْمَاءِاللهِ
3. Ma’rifat dengan sifat
Allah (اَلمَعْرِفَةِ فِى صِفَا تِاللهِ) didapat dari
فَنَاءُ الفَنَاءِ فِى صِفَا تِ اللهِ
4. Ma’rifah dengan dzat
Allah (اَلمَعْرِفَةِ فِى ذَا تِ اللهِ) didapat dari
فَنَاءُ الفَنَاءَ فِى ذَا تِ اللهِ
Tentu saja ma’rifat dari
tingkatan pertama sampai tingkatan keempat selalu diawali juga oleh :
بَقَاءُالبَفَاءِ فِى اَسْمَاءِاللهِ, بَقَاءُالبَفَاءِ فِى اَفَعَاءِاللهِ
قَاءُالبَفَاءِ فِى ذَا تِ الله , َبَقَاءُالبَفَاءِ فِى صِفَا تِ اللهِ
Pengertian Ittihad
Ittihad
adalah bahwa tingkatan tasawus seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan
Tuhan.
A.R.
Ai Badawi berpendapat dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud. Dalam ini
identitas telah hilang, telah menjadi satu. Ittihad berada dalam lapangan yang
kurang terang dan bersama hulul dan tauhid daripada bagian ilmu tasawuf.
Abu
Yazid Al-Bustami sebagai penyebar dan membawa ittihad dalam tasawuf. Ia jarang
keluar di Bistam. Sebagian besar waktunya ia gunakan untuk beribadah dan memuja
Tuhan.
Pabila
seorang sufin telah berada dalam keadaan fana, maka pada saat itu ia telah
dapat menyatu dengan Tuhan sehingga wujudnya kekal (baqa’). Di dalam perpaduan
itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan,
itulah arti dari Ittihad.
Paham
ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapatnya, bahwa jiwa
manusiaadalah pancaran dari nur ilahi, akuannya manusia itu adalah pancaran
dari Yang Maha Esa.
Ittihad
adalah barangsiapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriyahnya dari
kesadarannya sebagai insan, maka akan memperoleh jalan kepada sumber arahnya.
Ia akan menyatu padu dengan yang tunggal, yang dilihat dan dirasakan hanya stu,
itulah ittihad.
Situasi
Ittihad diperjelas oleh Bayazid dalam ungkapannya :
قل يا ابا يزيد انهم كلهم خلقى غيرك . فقلت فاءنا أنت وأنت أنت أنا
Tuhan berkata,”Semua mereka kecuali
engkau, adalah makhluk-Ku, akupun berkata,”Aku adalah Engkau, Engkau adalah
aku. Selanjutnya.”
انى اناالله لا اله الا انا فاعبدنى
Saya inilah Allah, tiada Tuhan Aku,
sembahlah Aku.
Kata-kata
itu adalah sab da Tuhan yang disalurkan melalui lidah Bayazid yang dalam
keadaan fana’an nafs. Oleh karena itu sebenarnya dia tidak mengaku
dirinya sebagai Tuhan seperti yang dilakukan Fir’aun.
DAFTAR PUSTAKA
Siregar, Prof.H.A. Rivay,
Tasawuf
Nata, Prof.Dr.H.Abudin,
M.A., Akhlaq Tasawuf
Drs.H.A. Mustafa, Akhlak
Tasawuf
Drs.Mahjudin, M.Pd.I,
Akhlak Tasawuf I Mukjizat Nabi, Karomah Wali, dan Ma’rifah Sufi, Kalam Mulia